Rabu, 04 September 2019
Sebelum melihat jauh kedepan mengenai perkembangan Persaudaraan Setia Hati Terate sekarang ini, kita ingatkan julukan : “PENDHITA WESI KUNING”. Siapa kah Pendhita Wesi Kuning itu? Ia dikenal seorang yang berdedikasi tinggi, dalam kamus hidupnya tidak ada kata menyerah dalam menghadapi tantangan. Pola hidupnya sederhana meskipun ia sendiri dilahirkan dari keluarga yang bermartabat, penerus trah kusumah rembesing madu amaratapa wijiling handanawarih. Kiatnya “Sepiro gedhening Sengsoro Yen Tinompo Amung dadi Cobo” dan kiat itu dihayatinya dijabarkan dalam lakunya sampai akhir hayatnya.
R. M. IMAM KOESOEPANGAT teguh dalam pendiriannya yakni mengabdi pada sesama maka orang-orangpun memberi julukan “PENDHITA WESI KUNING” (konon julukan ini mengacu pada warna wesi kuning sebagai senjata kedewataan yang melambangkan ketegaran, kesaktian, kewibawaan sekaligus keluhuran). Ketika ia di tanya, siapakah orang yang paling dicintainya di dunia ini ?. ia akan menjawab dengan tegas “IBU “. Dan ketika ia di tanya organisasi apakah yang paling ia cintai selama di dunia ini ?. maka ia pun akan mengatakan PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE.
Dua jawabpan di atas, pertanyaan yang mengacu pada kedalaman rasa itu, telah di buktikan tidak hanya ucapan belaka tetapi dengan kerja nyata. Hampir sepanjang hidupnya waktu, tenaga, pikiran dan jiwanya dipersembahkan demi baktinya kepada keduanya itu. Yakni ibu, seorang yang telah berjasa atas keberadaan di dunia ini, dan persaudaraan setia hati terate sebuah organisasi tempat menemukan jati diri, sekaligus ajang darma baktinya dalam rangka mengabdi kepada sesama. Dialah RADEN MAS IMAM KOESOEPANGAT. Putra ketiga dari pendawa lima. Yang lahir dari garba : Raden Ayu Koesmiyatoen dengan RM AMBAR KOESSENSI. Bertepatan pada hari jum`at pahig tanggal 18 november 1938, di Madiun kakek beliau (Kanjeng Pangeran Ronggo Ario Koesnoningrat) adalah bupati Madiun VI dan neneknya (Djuwito) atau (RA Pangeran Ronggo Ario Koesnoningrat), merupakan figur yang di segani pada saat itu.
Menurut keterangan dari pihak keluarganya, trah Kanjeng Pangeran Ronggo Ario Koesodiningrat selain di kenal sebagai penerus darah biru juga dikenal sebagai bangsawan yang suka bertapa brata satu laku untuk mencari hakikat hidup dengan jalan meninggalkan larangan-larangan Tuhan Yang Maha Esa serta membentengi diri dari pengaruh keduniawian. Bakat alam yang mengalir dalam darah kakeknya ini , di kemudian hari menitis ke dalam jiwa RM IMAM KOESOEPANGAT. Dan mengantarkan menjadi seorang Pendekar yang punya Kharisma dan di segani sampai ia sendiri di juluki. “Pandhita Wesi Kuning”.
Masa Kecil
RM Imam Koesoepangat di lalui dengan penuh suka dan duka, ia suka hal itu saudara-saudara kandungnya (RM Imam Koesoenarto dan RM Imam Koesenomihardjo, dan RM Koesenomihardjo kakak dan RM Imam Koeskartono dan RM Abdullah Koesnowidjodjo, adik) tuanya, tempat tinggal tua di lingkungan kabupaten Madiun. (menurut sumber terate) semasa kecilnya, RM Imam Koesoepangat belum menunjukkan kelebihan yang cukup berararti. Di sekolahnya (SD latihan duru satu: sekarang SDN Indrakila Madiun) ia bukan tergolong siswa yang paling menonjol, salah satu nilai lebih di miliknya barangkali hanya karena kayaya. Selain itu sendiri sejak kecil sudah di kenal sebagai bocah yang jujur dan suka juga menolong teman-teman sepermainanya.
Ketika berbicara 13 tahun, semasa ia meminta bantuan dari ayahanda keberuntungan berbicara lain RM Ambar Koesensi (ayahanda tercinta) di panggil ke Hadirat Tuhan yang maha Esa, pada tanggal 15 maret 1951, saat ia masih duduk di kelas 5 SDN. RM Imam Koesoepangat kecilpun seperti tercerabut dari dunia kana-kanaknya, sepeninggalnya orang yang di cintainya yang sempat menggetarkan jiwanya. Namun demikian, kematian tetap tidak ada yang mampu menolak kehadiranya. Begitu juga yang terjadi pada RM Ambar Koesensie.
Hari-hari berikutnya RM Imam Koeseopangat diasuh langsung oleh ibunda RA Koesmiatoen Ambar Koesmiatoen. Di waktu-waktu senggang ibunda sering kali mendongeng tentang pahlawan-pahlawan yang dikenalnya dan tidak lupa memberi tahu petuah hidup. Berawal dari tatakrama pergaulan, tatakrama menembah (bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa) sampai merambah pada pengertian budi luhur dan mesubrata.
Masuk Persaudaraan Setia Hati Terate
Benih luhur yang di tanamkan lebih lambat laun akhirnya mampu mengendap dan mengakar di dalam jiwa RM Imam Soepangat, ia lebih akrab dengan panggilan “ARIO” perhatianya terhadap nilai-nilai budi luhur kian mekar bagai bak terate di tengah telaga. Semenjak kecil sudah menyukai laku tirakat, seperti puasa, dll, sesuai dengan itu, mulai berubah, ia mulai bisa membawa diri, menyimpan perasaan, menerima, menerima. Gambaran seorang Ario kecil, sebagai bocah ingusan, sedikit demi sedikit mulai di dihapusnya.
Rasa keingintahuan terhadap berbagai pengetahuan terutama ilmu kanuragan dan kebatinan yang menjadi idaman semenjak kecil kian hari semakin meningkat semangatnya. Melecut jiwanya untuk segera menemukan jawabanya, barang kali terdorong oleh rasa keinguanya tua kompilasi bejalan enam belas tahun RM Imam Koeseopangat mulai mewujudkan impianya. Di sela-sela kesibukaan sebagai siswa di SMP 2 Madiun, ia mulai belajar pencak silat di bawah panji-panji Persaudaraan Setia Hati terate. Kebetulan yang dilatih saat itu adalah mas Irsad (murid Ki Hadjar Hardjo Oetomo) selang lima tahun kemudian 1959 setelah tamat dari SMA Nasional Madiun ia berhasil menyelesaikan Pelajaran di Persaudaraan Setia Hati Terate dan membantu menyandang gelar pendekar tingkat satu.
Kelak kompilasi Mas Imam beranjak dewasa, ia sempat dijuluki sebagai Pendhita Wesi Kuning itu. Yakni seorang yang berdedikasi tinggi, dalam kamus melarikan diri tidak ada kata lolos dalam perjuangan. Pola sederhana sementara ia sendiri berasal dari keluarga bermartabat, penerus trah kusumah rembesing madu amaratapa wijiling handanawarih. Kiatnya "Sepiro gedhening Sengsoro Yen Tinompo Amung dadi Cobo" dan kiat itu dihayatinya diumumkan dalam lakunya hingga akhir hayatnya.
Ia mengatakan pada pendengarnya bahwa orang-orangpun memberi tahu julukan "Pendhita Wesi Kuning" (konon julukan ini sesuai dengan warna wesi kuning sebagai senjata kedewataan yang melambangkan ketegaran, kesaktian, kewibawaan juga keluhuran).
Dalam Buku Sejarah SH Terate dan Persaudaraan Sejati, menerima Tahun 1959, Mas Imam, panggilan akrab RM Imam Koesoepangat, mulai melatih. Tarmadji (sekarang Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun) adalah anak didik langsung RM Imam Koesoepangat. Menurut penuturan Tarmadji, beliau adalah sosok pendekar yang santun dan berwibawa. Jika melatih di depan siswanya, dia cukup meyakinkan, keras dan disiplin. Ucapan dan perilakunya konsisten. Jika dinilai A maka yang dia lakukan juga A.
Selama Mas Madji ( panggilan akrab Tarmadji ) dibornya, senam dan jurus yang disetujui dia adalah senam dan jurus yang sampai sekarang dibuka untuk siswa SH Terate. Sejak saat itu pula, gerakan yang diberikan kepada siswa SH Terate adalah gerakan senam dan jurus yang diberikan Pak Irsyad kepada Mas Imam, dan diberikan kepada siswa beliau. Dalam perkembangannya, senam dan akurasi jurus pada era Pak Irsyad ini yang akhirnya dibuat gerakan baku pencak silat SH Terate.
Pada tahun 1963, untuk pertamakalinya dikumandangkan Mars SH Terate pada acara Pagelaran Seni Budaya di Gedung Bioskop Basuki Jl. Sulawesi (sekarang Tegel Dewasa). Syair Mars SH Terate digubah oleh RM. Imam Koesoepangat, sedangkan arensemennya dikerjakan Ady Yasco.
Saat itu Mas Imam berpesan: Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia, pemersatu bangsa Indonesia. Jika Pancasila dirubah, Mas Imam tidak menerima rela dan akan mempertahankan bersama dengan pendekar SH Terate.
Tahun 1963, RM Imam Koesoepangat berhasil mengesahkan anak didik pertama. Yakni, Tarmadji (sekartang undangan sebagai Ketua Umum SH Terate Pusat Madiun), Abdullah Koesno Widjojo, Soediro, Bibit Soekadi, Soedarso, Soedibyo, Soemarsono dan Bambang Tunggul Wulung. Dari kedelapan anak didik pertama Mas Imam ini, hingga buku ini diterbitkan tahun 2013, yang masih hidup dua orang. Mereka adalah, Tarmadji dan Soedibyo (tinggal di Jakarta).
Perlu ditegaskan lagi, Mas Tarmadji adalah anak didik langsung Mas Imam. Sejak latihan dan disyahkan, pelajaran pencak silat yang diterima dari Mas Imam saat ini adalah pelajaran pencak yang sudah diselesaikan pada zaman Pak Irsad. Yakni, senam 1 (satu) sampai dengan 90 (Sembilan puluh). Jurus yang sudah disempurnakan, pasangan, kemudian sambung persaudaraan.
Maknanya, sejak Mas Imam melatih, sampai dia memimpin SH Terate, yang mendukung dia adalah senam dan jurus baru. Sementara jurus lama tidak lagi digunakan. Alasannya, seperti yang diajukankan Mas Imam kepada Mas Madji, jurus Djoyo Gendilo Ciptomulyo itu miliknya SH Winongo.
Di sela sela pelajaran itu diberikan permainan kripen, permainan toya. Terakhir dididik kerokhanian atau kebatinan. Istilahnya ilmu “ kang aweh reseping ati “ (ketenangan batin). Kemudian berkembang lagi ada pelatihan osdower.
Sementara itu, untuk saudara saudara kadang-kadang SH Terate yang mengunjungi ilmu kebatinan dan kanuragaan, ibaratnya ngelmu amrih dibacok ora tedas ( organisasi sains), ditembak lakak lakak (ditembak malah), tidak pernah dipermasalahkan, dengan tulisan, ilmu yang sedang mencari saja untuk pengayaan pribadi dan tidak memasukkannya ke dalam kurikulum pelajaran di SH Terate.
Masih di tahun 1963, ada berita penting yang disampaikan dalam buku ini. Pasalnya, momen ini terlihat sebagai tonggak penguat perkembangan SH Terate. Yaitu, turunkan ke bawahar SH Terate ke gelanggang Adu Bebas.
Gelanggang Adu bebas pada tahun enam bahkan merupakan bergengsi, bagi pendekar persilatan di Madiun dan sekitarnya. Bahkan ini merupakan arena pertandingan kelas dengan sistem kontak tubuh penuh (pertarungan antar pesilat tanpa pelindung). Di sini, ini merupakan ajang perkelahian para pendekar pilih tanding yang diatur dengan sistem pertandingan dan ditonton orang banyak.
Dulu, selain dibuat ajang pamer kesaktian bahkan yang digelar sekali lagi di halaman Kantor eks Karesidenan Madiun itu saya, juga digunakan media promosi perguruan pencak silat untuk menggaet peminat. Fakta empiris, perguruan pencak silat yang berhasil memenangkan pertandingan, jumlah muridnya pasti akan semakin banyak.
Saat itu, RM Imam Koesopangat jadi jagonya SH Terate, disamping Parno Ramelan dan Sudarso.
Di arena pertarungan bebas itu Mas Imam berhadapan dengan Kyai Soekoco dari SH Tuhu Tekad, Sewulan, Dagangan. Seorang pendekar yang dikenal digdaya dengan postur tubuh yang jauh lebih tinggi daripada Mas Imam. Selain itu, Kyai Soekoco ini juga dikenal pendekar yang kebal, pilih tanding dan terlatih serta beberapa kali memenangkan aven adu bebas.
Menurut Mas Madji, sebenarnya saat itu ia juga berniat ikut turun ke gelanggang. Tapi Mas Imam tidak menghendaki.Alasannya, usianya masih terlalu muda. Dia hanya ditugasi membawa keris Kyai Luwuk, dan memesan agar keris tidak dipindahkan selama Mas Imam bertanding.
Awalnya, terhitung tokoh SH Terate meragukan Mas Imam. Malah yang diperuntukkan agar Mas Imam tidak sampai ke gelanggang. Tapi terbukti dia berhasil memecahkan keraguan saudara saudara SH Terate. Pada ronde ronde awal, laga berlangsung seru. Kedua pendekar itu bertanding cukup imbang. Beberapa kali tendangan dan pukulan Mas Tentang tubuh Kyai Koco cukup telak. Tapi Kyai Koco, hanya disetujui dengan senyum. Jelas itu menandakan, Kyai Koco, memang pendekar yang kebal dari rasa sakit akibat pukulan dan tendangan.
Memasuki ronde terakhir, Mas Imam berhasil memulihkan tubuh Kyai Koco. Saat itu juga, Mas Imam mengingat agar wasit melakukan penghitungan. Meski begitu, berhasil melepaskan diri dari kuncian, Kyai Koco tak berhasil. Akhirnya dewan juri memutuskan, pertandingan itu dimenangkan oleh Mas Imam.
Tahun 1965, Mas Imam menjadi Ketua Banteng Dwikora. Namun saat itu, dia berpesan di Mas Tarmadji, itu keikutsertaan dia atas persetujuan sebagai Ketua Banteng Dwikora telah memasuki wilayah pribadi Mas Imam dan dia sendiri tidak membawa SH Terate ke dalam urusan pribadinya.
Tahun 1967 . RM Imam Koesoepangat mesu budi (tirakat atau laku ikhtiar), lakukan puasa selama 7 (tujuh) hari tujuh malam di dalam kamar. Terimakasih pada SH Terate mohon Mas Imam sering tirakatan, mohon petunjuk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum masuk ke dalam kamar, Mas Imam meminta Mas Tarmadji meminta di depan pintu. Saat itu dia berpesan, jika di hari ke-7 (tujuh) dia tidak keluar, Mas Tarmadji mengatur mendobrak pintu kamar dan masuk ke dalam. Tepat pada hari ake-7, Mas Imam keluar kamar dengan kondisi sempoyongan. Dengan suara terbata bata, ia meminta Mas Madji mencabut air kunir asam untuk diminum. Beberapa saat setelah meminum air kunir asam, ia berkata, “Jenengan eling eling Dik, njenengan titeni. mBenjingtiti wancine SH Terate ageng Dik. Ning kula mboten memoni. Mbenjing bernyanyi nemoni Dik Madji. Nyanyikan mimpin njih Dik Madji. Ageng Dik, ngluwihi paguron paguran liyane". (Kamu ingat ingat ya Dik. Kamu membatalkan. Besok jika sudah tiba, SH Terate akan berkembang menjadi besar. Tapi aku tidak melihat. Besok yang melihat Dik Madji. Yang menang juga Dik Madji. SH Terate besar lainnya).
Menurut Mas Madji, dia hanya diam mendengar Mas Imam saat itu. Dia tidak begitu paham apa yang dimaksud dengan Mas Imam tersebut. "Saat itu, saya hanya berpikir Mas Imam mengatakan itu hanya untuk membesarkan hati saya," ujar Mas Madji.
Hari berikutnya, Mas Madji sering diajak menemani Mas Imam laku tirakat. Banyak lokasi ritual yang dikunjungi. Dari Segara Kidul (Laut Selatan), Harga Dumilah di Puncak G. Lawu hingga ke Gunung Srandil.
Namun terkait dengan Mas Madji, laku tirakat atau tapa brata yang dilakukan RM Imam Koesoepangat, lebih ditikberatkan pada laku pribadi, sebagai pengayaan keilmuan pribadi Mas Imam dan juga tidak pernah berhasil melakukan penyelidikan sendiri pada saat di SH Terate.
Tahun 1974 SH Terate menggelar kongres di Madiun. Hasil konggres ini antara lain:
1. Mengangkat RM. Imam Koesoepangat sebagai Ketua Pusat dan Bapak Soetomo Mangkoedjojo sebagai Ketua Dewan Pusat.
2. Musyawarah juga berusaha membuat kedaulatan tertinggi organisasi di tangan anggota dan selanjutnya dapat disuarakan melalui wakilnya di setiap konggres.
Konggres pertama Persaudaraan Setia Hati Terate juga menghasilkan ikrar bersama:
“BARANGSIAPA MENGGANGU GUGAT PANCASILA, SELURUH KELUARGA BESAR SH TERATE AKAN TETAP MEMBELA SAMAPI TITIK DARAH PENGHABISAN”.
Sejak saat itu, ketua ketua terus disandangnya. Baik sebagai Ketua Pusat Maupun Ketua Dewan Pusat. Pada tahun 1981 misalnya, awal pertama muncul kebijakan pembagian wewenang tampat pimpinan SH Terate, RM Imam Koesoeangat mengemban tanggung jawab di Bidang Ideal (Kerohanian) dan bertanggung jawab sebagai Ketua Dewan Pusat. Sementara H. Tarmadji Boedi Harsono menjawab sebagai Ketua Umum yang membidangi Bidang Profesional (Organisasi dan Pengembangan).
Gagasan pembagian wewenang SH Terate pada zaman Mas Imam masih sugeng ini, kembali dijalankan saat serkarang ini (Tahun 2014). Mempertimbangkan usia Mas Tarmadji dan keterbatasan beliau, wewenang pimp; inan SH Terate dibagi dua. Yakni Bidang Ideaal (yang tetap dipegang oleh Mas Tarmadji dan Bidang Profesional (Organisasi dan Pengembangan), diamanatkan untuk Kol (Purn) Ricard Simorangkir.
Tahun 1985, Ibu kandung RM Imam Koesoepangat (Ibu Ambar Koesensi) meninggal dunia. Saat itu, Mas Imam kelihatan berduka dan semakin kesedihan. Dia bahkan sampai perpamitan pada Mas Tarmadji) ingin ditolak ibunda tercinta. “Saya mau nyusul Ibu, Dik!” Kata Mas Imam.
Ini adalah untuk kedua kalinya Mas Imam pamit pada Mas Madji. Dulu, saat adik kandungnya, RM Imam Koeskartono (Mas Gegot), meninggal dunia, tahun 1966. Saat itu dia juga menguatkanakan niatnya untuk berhasil mendapatkan adik tercinta ke alam baka.
Niat Mas Imam mengundang Ibunda ke alam kelanggengan juga diutarakan beliau kepada kerabatnya. Bahkan, sudah pamitan ke keluarga. Melihat kemauan beliau, Mas Madji berhasil merayu Mas Imam untuk mengurungkan niatnya. Saya katakan di depan dia saat itu, bahwa tenaga dan pikirannya masih sangat dibutuhkan SH Terate.
Mendengar alasan Mas Madji, Mas Imam menjawab, ”Injih Dik, kulo manut. Nanging ampun dangu dangu. Ampun luwih membuat 1000 sedan dinten Ibu, "(Iya Dik, saya manurut. Tapi jangan lebih dari seribu hari kematian Ibu). Apa yang membatalkan Mas Imam itu benar benar. Pada Hari Senin, tanggal 16 November 1987, RM Imam Koesoepangat meninggal dunia, pada usia 49 tahun kurang dua hari. Dua hari sebelumnya, malam kedua Jumat, Mas Madji bersama istri (Ny. Hj. Ruwi Tarmadji) sowan ke kediaman Mas Imam, di Paviliun Kabupaten Madiun. Malam itu, Mas Madji melihat kondisi beliau sangat lemah. Saya bertanya, " Mas Imam sakit ya?" Dia menjawab, " Gak, Dik !. Saya berkata lagi, ” Injih, Mas Imam sakit! Jangan jangan Mas Imam mau mendahului saya. ” Mendengar kata-kata saya itu, Mas Imam tersenyum. “ MBoten Dik. Mpun, mangke dinten Senin enjing kemawon Dik Maji kulo timbale mriki. " (Tidak, Dik. Saya Tidak Sakit. Sudahlah, nanti hari Senin pagi saja, Dik Madji saya panggil ke sini). Malam itu, beliau juga menghadiri berpesan agar di Mas Madji untuk tetap setia dan aktif membesarkan SH Terate.
Sepulang dari rumah Mas Imam, Mas Madji mampir ke tempat Pak Marwoto dan berpesan agar saudara saudara SH Terate yang berpendapat ada di situ untuk mampir ke Mas Imam. Saya katakan pada kondisi mereka Mas Imam tidak seperti biasanya.
Hari Senin pagi, apa yang saya khawatirkan ternyata benar terjadi. Kondisi Mas Imam drop, hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Dan pagi itu juga dia pergi meninggalkan kita, menghadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Kernazah beliau dimakamkan di Makam Taman, Kota Madiun. SH Terate sangat kalah. Tapi karena semua itu kehendak Allah, kita harus tetap merimanya .
|
[tutup]
Facebook PSHT RANTING SUKODONO CABANG LUMAJANG - PUSAT MADIUN
SUBSCRIBE PSHT RANTING SUKODONO CABANG LUMAJANG OFFICIAL
Copyright ©
PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE RANTING SUKODONO - CABANG LUMAJANG PUSAT MADIUN | Powered by Blogger
Design by Flythemes | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com
0 Comments:
Posting Komentar